Penulis: Katrin Bandel
Penerbit: Jalasutra
Harga: Rp 47.000
Sinopsis:
Dalam
dunia sastra Indonesia saat ini "perempuan" dan "seks" merupakan dua
isu yang sangat penting "perempuan" terutama dalam arti "pengarang
perempuan" dan "seks" sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren.
Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun
terakhir ini dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar
biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah
buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas
dihebohkan serupa itu? Berbagai klaim muncul seputar para "pengarang
perempuan baru" itu : tulisan mereka hebat, menciptakan gaya penulisan
baru, mereka mendobrak tabu, terutama seputar seks dan hal itu sering
dipahami sebagai semacam pembebasan perempuan bahkan sebagai feminisme.
Katrin
Bandel dalam buku ini berusaha mempertanyakan klaim-klaim tersebut.
Menurutnya kehebohan seputar beberapa penulis perempuan (bukan
"perempuan" penulis), yang secara popular disebut sebagai "sastrawangi"
itu, sangat berlebihan.
“Saya
setuju dengan keprihatinan Katrin Bandel bahwa seakan-akan para penulis
perempuan dengan sendirinya membongkar represi sosial yang selama ini
diderita oleh perempuan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan. Di
lingkungan akademis, misalnya, tidak jarang para mahasiswa mengangkat
karya para penulis perempuan sebagai karya-karya feminis. Katrin Bandel
mengingatkan bahwa yang paling penting adalah cara kita berargumentasi
dalam memberikan penilaian atau pelabelan. Buku ini muncul dari rasa
tidak puas Katrin atas cara para pengamat sastra di Indonesia
memperlakukan sastra, terutama karya-karya sastra yang ditulis oleh
pengarang perempuan.
(Dr. St. Sunardi, Ketua Prog. Pascasarjana Ilmu Religi & Budaya Univ. Sanata Dharma Yogyakarta)
Kata Pengantar
Dalam
dunia sastra Indonesia saat ini, “perempuan” dan “seks” merupakan dua
isu yang sangat penting: “perempuan” terutama dalam arti “pengarang
perempuan” (bukan “perempuan” pengarang seperti yang disalahkaprahkan
istilahnya khususnya oleh media massa Indonesia), dan “seks” sebagai
tema karya sastra yang sedang ngetren. Sampai-sampai sering
terdengar sindiran seperti “asal pengarangnya perempuan, apalagi
perempuan muda dan cantik, pasti diterbitkan”, atau “asal berbau seks,
apalagi pengarangnya perempuan, pasti laku”.
Sindiran
semacam itu dapat saja kita anggap sekadar sebagai ekspresi iri hati
terhadap sukses orang lain. Tapi menurut pandangan saya, tidak ada
salahnya kita menanggapinya dengan sedikit lebih serius—jangan-jangan
memang betul ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia sastra Indonesia!
Begitu banyak pengarang perempuan baru bermunculan dalam beberapa tahun
terakhir ini, dan tidak sedikit dari mereka mendapat sambutan yang luar
biasa, baik dari segi respons media, penghargaan sastra, maupun jumlah
buku yang terjual. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas
dihebohkan serupa itu?
Berbagai
macam klaim muncul seputar para “pengarang perempuan baru” itu: tulisan
mereka hebat, mereka menciptakan gaya penulisan baru, mereka mendobrak
tabu (terutama seputar seks – dan hal itu sering dipahami sebagai
semacam “pembebasan perempuan”, bahkan sebagai “feminisme”). Yang ingin
saya lakukan dalam esei-esei di buku ini antara lain adalah
mempertanyakan klaim-klaim tersebut. Menurut pandangan saya, kehebohan
seputar beberapa penulis perempuan (bukan “perempuan” penulis), yang
secara populer disebut sebagai “sastrawangi” itu, sangat berlebihan. Hal
itu terlihat paling menyolok pada reaksi terhadap karya Ayu Utami dan
Djenar Maesa Ayu. Novel Saman karya Ayu Utami (1998) menjadi titik awal trend sensasi seputar pengarang perempuan yang berlangsung sampai sekarang. Saman,
dengan kalimat akhirnya “Perkosalah aku” yang provokatif itu, menjadi
buah bibir terutama karena “pendobrakan” dan “keterbukaan”-nya dalam hal
seksualitas. Karya Djenar pun dibicarakan terutama karena “berbau
seks”. Saya ragu apakah cara membicarakan seksualitas dengan menantang
dan penuh sensasi yang kita temukan dalam karya kedua pengarang itu, dan
beberapa rekan mereka, memang tepat disebut “pendobrakan tabu” atau
bahkan “pembebasan perempuan”. Seksualitas merupakan isu penting yang
dibicarakan dengan berbagai cara dalam banyak karya sastra di Indonesia
maupun di negeri lain—mengapa yang diekspos dan dirayakan di Indonesia
justru cuma versi sensasi ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu belaka?
Sensasi
seputar perempuan dan seks itu menurut pengamatan saya memiliki efek
yang merugikan bagi dunia sastra Indonesia. Di antara karya sastra yang
terbit beberapa tahun belakangan ini, cukup banyak karya menarik yang
kurang atau tidak mendapat sambutan dan penghargaan, sedang karya lain
yang—paling tidak menurut penilaian saya—biasa-biasa saja malah
diangkat-angkat karena sesuai dengan tren. Yang sangat saya sesalkan
adalah betapa banyak di antara mereka yang memiliki pengaruh dan
kekuasaan dalam dunia sastra Indonesia—organisasi dan institusi sastra,
serta para “pengamat” dan “kritikus”—bukannya mencoba untuk melawan
kecenderungan mencari sensasi tersebut, malah justru memilih
berpartisipasi dalam penciptaan mitos dan penilaian yang tidak adil.
Banyak di antara esei dalam buku ini lahir dari rasa kecewa terhadap permainan politik sastra semacam itu. Esei tentang Cantik itu Luka karya
Eka Kurniawan, misalnya, saya tulis sebagai reaksi atas sebuah kritik
novel itu yang ditulis oleh seorang pengamat sastra yang cukup
terpandang di media massa yang, menurut pandangan saya, sangat tidak
adil dan tidak tepat. Keinginan untuk memahami kondisi sastra
kontemporer Indonesia beserta politik sastranya, sekaligus mengkritik
berbagai bentuk ketidakadilan yang terjadi di situ, mendasari esei-esei
dalam buku ini.
Seperti
lazimnya sebuah kumpulan esei, kesebelas esei dalam buku ini awalnya
merupakan esei-esei lepas yang sudah pernah diterbitkan di berbagai
media. Mencari judul untuk kumpulan tulisan semacam ini jadinya tidak
mudah: begitu banyak isu yang berbeda-beda dibahas, bagaimana cara
menentukan judul yang cukup representatif? “Sastra, Perempuan, Seks”
tidak saya maksudkan sebagai semacam rangkuman isi tulisan dalam buku
ini. Semuanya berbicara tentang sastra, tapi banyak isu lain di luar
perempuan dan seks yang saya bahas. Namun sebagai isu hangat yang sedang
dihebohkan dalam dunia sastra kontemporer Indonesia, “perempuan dan
seks” cukup mewakili apa yang ingin saya bicarakan dalam buku ini, yaitu
politik sastra Indonesia yang penuh sensasi dan ketidakadilan.
Karya
dua pengarang perempuan yang sangat dihebohkan, Ayu Utami dan Djenar
Maesa Ayu, saya kritik dalam esei “Vagina yang Haus Sperma” dan “Nayla”.
Dalam esei tentang Ayu Utami, secara khusus saya membahas isu
seksualitas, dan isu yang sama saya angkat juga dalam esei “Lelaki
Harimau”—novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan tidak
sesensasional karya Ayu Utami dalam menggambarkan seksualitas, tapi
menurut pandangan saya lebih matang dan mendalam. Esei “Religiusitas
dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia” masih berbicara tentang
pengarang perempuan, namun tema yang saya bahas bukan seksualitas,
melainkan religiusitas, sesuatu yang mungkin belum pernah dibicarakan
dalam konteks “pengarang perempuan” di negeri ini. Ternyata seksualitas
bukan satu-satunya isu yang dipentingkan oleh pengarang
perempuan—tekanan pada isu itu hanyalah stereotipe hasil politik sastra
yang berpusat pada sensasi. Pada saat pengarang perempuan dituduh telah
sama sekali meninggalkan moral dan agama, ternyata di antara mereka ada
yang justru mendalami agama dan mencari bentuk spiritualitas yang sesuai
dengan zaman kini.
“Nyai
Dasima dan Nyai Ontosoroh” pun berbicara tentang perempuan, meskipun
bukan tentang perempuan sebagai pengarang, melainkan sebagai tokoh. Esei
itu mungkin tampak hampir tidak ada hubungannya dengan isu “perempuan
dan seks” di atas, tapi sesungguhnya tidaklah demikian: cerita nyai,
dengan “Tjerita Njai Dasima” sebagai salah satu contohnya, merupakan
“cerita porno”- nya zaman kolonial, dan karena itu dapat disebut sebagai
semacam “pendahulu” karya ala Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Tapi
dalam apropriasi tokoh nyai yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer
dalam tetraloginya, bukan isu seks yang diutamakan, melainkan isu
pascakolonialitas. Pascakolonialitas dalam hubungannya dengan persoalan
gender dan pengalaman perempuan juga dipersoalkan dalam novel Disgrace karya
pengarang Afrika Selatan J.M. Coetzee. Sayang sekali pengarang
perempuan Indonesia tampaknya selama ini kurang berminat pada persoalan
pascakolonialitas—kondisi unik negeri pascakolonial seperti Indonesia
dengan budayanya yang hibrid jarang diberi perhatian. Pascakolonialitas
juga saya bicarakan dalam esei “Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia”
dan “Tetapi Kutukanku akan Terus Berjalan”.
Dalam
esei “Incest” saya membahas sebuah novel yang, karena kritiknya
terhadap beberapa persoalan budaya lokal, menyinggung warga di desa asal
pengarangnya di pedalaman Bali, sehingga pengarangnya harus menerima
hukuman adat yang sangat berat: dikeluarkan dari desa adat untuk 5
tahun. Kalau dihubungkan dengan sensasi seputar pengarang perempuan yang
terjadi terutama di Jakarta, terlihat kontras yang cukup menarik:
“keberanian” pengarang perempuan dalam “mendobrak tabu” seputar seks
dirayakan seakan-akan hal itu merupakan sebuah pencapaian yang luar
biasa, padahal tidak ada represi sosial yang berarti terhadap mereka.
Pada waktu yang sama, seorang pengarang di daerah menghadapi represi
yang cukup serius, namun tidak ada “pengamat” dan “kritikus” sastra yang
menghiraukannya, atau malah pernah mendengar kasusnya!
Salah
satu aspek politik sastra Indonesia yang lain saya bicarakan dalam esei
“Sastra Koran di Indonesia”, yaitu peran luar biasa yang diberikan
kepada koran sebagai sarana publikasi sastra. Debat seputar “sastra
koran” sempat hangat terutama setelah koran tersaingi oleh media baru,
yaitu internet dan karya sastra yang disosialisasikan lewatnya. Meskipun
koran terutama yang terbit di Jakarta—dan para redakturnya—tetap
memiliki pengaruh yang sangat besar, bahkan mungkin tidak salah untuk
disebut sebagai yang paling besar pengaruhnya di dunia sastra
kontemporer Indonesia, internet telah membuka peluang untuk sosialisasi
karya sastra dan pertukaran pendapat tentang sastra yang lebih luas dan
demokratis. Internet juga menawarkan berbagai cara baru dalam berkarya
atau menanggapi karya, yang salah satunya saya bahas dalam esei “Karya
Sastra sebagai Taman Bermain” dalam buku ini.[]
Daftar Isi
Tentang Penulis — v
Bila Perempuan Menulis Perempuan... oleh St. Sunardi — ix
Ucapan Terimakasih — xv
Pengantar Penulis — xvii
1 Karya Sastra sebagai Taman Bermain — 1
2 Dukun dan Dokter dalam Sastra Indonesia:
(Literature and Medicine—Sebuah Studi) — 13
3 Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh:
Sebuah Intertekstualitas Pascakolonial — 27
4 Sastra Koran di Indonesia — 39
5 “Tetapi Kutukanku Terus Berjalan”:
Pascakolonialitas dalam Cantik Itu Luka — 49
6 Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan
Indonesia — 59
7 Lelaki Harimau — 79
8 Vagina yang Haus Sperma:
Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami — 87
9 Disgrace J.M. Coetzee — 103
10 Incest — 111
11 Nayla:
Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti — 123
Sejarah Penerbitan Esei — 141
Tentang Penulis
Katrin
Bandel lahir 29 Desember 1972 di Wuppertal, Jerman. Menyelesaikan
doktor dalam sastra Indonesia pada tahun 2004 di Universitas Hamburg,
Jerman, dengan topik “Pengobatan dan Ilmu Gaib dalam Prosa Modern
Indonesia”. Puisi, cerpen, dan eseinya dimuat di Cyber Graffiti, Ini...Sirkus Senyum, Graffiti Imaji, Dian Sastro For President!, Batu Merayu Rembulan, Esei-esei Bentara 2004, Sastra Pembebasan, Les Cyberlettres, On/Off, mejabudaya, Jurnal Cerpen Indonesia, Bentara, Horison, Basis, Kompas, Bernas, Minggu Pagi, Suara Merdeka, dan di situs sastra cyberpunk Indonesia www.cybersastra.net.
Katrin juga seorang pelukis dan pernah berpameran tunggal di ViaVia
Café Yogyakarta. Saat ini menetap di Yogyakarta dan menjadi dosen tamu
mata kuliah “Teori-teori Budaya” dan “Gender Studies” di program
Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Label:
Gender