Judul: Ambivalensi, post-kolonialisme membedah musik sampai agama di Indonesia
Penulis: Budiawan (ed.)
Kategori: sosial-ekonomi-politik/postkolonial
Ukuran: 14x21
Tebal: xxiv + 174 halaman
Cetakan: 1 Desember 2010
Harga: Rp 40.000,00
Tidak
ingin mengulang nasib wacana post-modernisme pada awal 1990-an, yang
ternyata tidak lebih sebagai “fashion” akademik belaka —setidak-tidaknya
menurut mereka yang skeptis dengan aliran pemikiran itu— kumpulan esai
ini berusaha tidak terjebak ke dalam kegenitan konsumsi istilah-istilah
baru dan trendi. Bukan efek wah yang bisa menimbulkan kesan sok canggih
yang ingin disampaikan kumpulan esai ini, tetapi cara pandang lain dalam
membaca pelbagai fenomena di seputar perkara identitas dalam konteks
relasi kuasa yang tak setara. Yang dimaksud dengan cara pandang lain itu
adalah cara pandang yang menolak esensialisme, subversif pada logika
binarisme, dan kritis terhadap pandangan Marxis bahwa relasi kuasa tak
setara niscaya bersifat diametral. Singkat kata, esai-esai ini mengajak
kita untuk berpikir-ulang mengenai posisi subjek dalam relasi kuasa tak
setara.
Hal
itu berangkat dari pemahaman umum dan elementer tentang
Post-kolonialisme itu sendiri, yakni bahwa melihat pelbagai continuing
effects kolonialisme pada masyarakat-masyarakat bekas jajahan, atau
bekas wilayah pengaruh kolonialisme Barat, sikap bekas terjajah terhadap
bekas penjajah ternyata penuh dengan ambivalensi. Ada rasa benci karena
luka-luka sejarah yang ditimbulkannya, tetapi sekaligus juga ada rasa
kagum (dan karena itu merindukannya, entah sadar atau tidak) karena
superioritas peradaban yang (pernah) dipertontonkannya; ada
kecenderungan untuk mengambinghitamkan masa lalu kolonial atas segala
keterbelakangan dan keterpurukan pada masa kini, tetapi sekaligus juga
berterima kasih kepadanya karena kekuatan-kekuatan koloniallah yang
kemudian memungkinkan terbentuknya ‘negara-bangsa’ yang ada sekarang
ini.
Ambivalensi
[dengan segala konsep yang terkait dengannya seperti mimikri,
hibriditas, ‘ruang antara’, parodi, hegemoni-resistensi, dan sebagainya]
itulah yang kemudian dijadikan kata kunci esai-esai ini dalam
membaca(-ulang) pelbagai fenomena di seputar perkara identitas, bukan
semata-mata yang terkait langsung dengan masalah kolonialisme di masa
lalu, tetapi melebar ke hubungan pandang-memandang antarsubjek yang
terkait dalam relasi-relasi kuasa tak setara. Di sinilah
Post-kolonialisme telah menjadi perspektif, atau kacamata pandang, yang
berbeda dari kacamata pandang yang sudah mapan dalam ilmu-ilmu
sosial-humaniora arus utama.
Daftar Isi
Ketika Ambivalensi Menjadi Kata Kunci: Sebuah Pengantar
Budiawan vii
Se-Rambut Tak Se-Musik: Mimikri dalam Musik dan Musisi Pop Indonesia Hari ini
Boy Nugroho 1
Indorock Musik Hibrid dan Secelah Ruang Ketiga yang [Nyaris] Terlupakan
Sandria Komalasari 17
Diri dan Liyan dalam Relasi Barat–Dunia Islam Membaca-ulang Resistensi Islam terhadap Barat dalam Teks-teks Sabili
Muhammad Hadid 41
Melawan Sekaligus Meniru: Siswa Papua di SMP Kanisius Kalasan, Yogyakarta, dalam Wacana (Post-)Kolonial
Y. Sanaha Purba 57
Ambivalensi Hubungan Terjajah dan Penjajah dalam Kristenisasi di Tanah Karo, Sumatera Utara
Norita N. Sembiring 73
Performativitas Post-kolonial Waktu Batu-nya Teater Garasi
Ferdiansyah Thajib 93
Di Toko Mirota Batik: Tawar-Menawar Esensialisme Jawa
Sutrisno 117
Dalam Himpitan Feodalisme dan Kolonialisme: Membaca Ulang Kartini Melalui Lensa Pramoedya Ananta Toer
Choirotun Chisaan 131
Kolonialisme dan Ambivalensi Subjektivitas: Pembacaan Post-kolonial atas Film Oeroeg [1993]
Ridwan Muzir (Inyiak) 145
0 komentar:
Posting Komentar